KabarHijau.com – Lahan gambut global menyimpan karbon dalam jumlah yang bahkan melampaui seluruh karbon yang ada di atmosfer. Namun kekayaan ekologis ini terus tertekan, terutama akibat praktik pertanian berbasis pengeringan. Penelitian terbaru dari Universitas Murdoch, Australia, menunjukkan bahwa lahan gambut sebenarnya punya peluang besar untuk menghentikan bahkan menekan emisi gas rumah kaca, tanpa harus dikorbankan sepenuhnya dari aktivitas ekonomi.
Selama ini, untuk menanam komoditas seperti kelapa sawit atau kayu, lahan gambut dikeringkan melalui pembuatan parit. Ketika air surut, gambut mulai teroksidasi, membusuk lebih cepat, atau terbakar. Proses ini melepaskan simpanan karbon yang telah terikat selama ribuan tahun ke atmosfer dan memperparah krisis iklim.
Profesor Davey Jones dari Food Futures Institute menjelaskan, kuncinya justru ada pada ketinggian muka air. “Kami memperkirakan bahwa setiap kenaikan 10 sentimeter permukaan air di lahan gambut dapat mengurangi dampak pemanasan bersih setara dengan setidaknya tiga ton CO₂ per hektar per tahun,” ujarnya.
Melansir Phys, Kamis (18/12/2025), penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi muka air, semakin kecil pula pelepasan gas rumah kaca. Menariknya, para peneliti menegaskan tidak perlu merendam lahan gambut hingga berubah menjadi danau. Cukup memastikan air berada sekitar 10 sentimeter dari permukaan gambut sudah memberi dampak signifikan.
Lahan gambut sendiri merupakan ekosistem lahan basah yang unik. Kondisi air yang stabil mencegah sisa tanaman membusuk sepenuhnya. Selain menyimpan karbon dalam jumlah besar, lahan gambut juga berperan penting dalam menjaga keanekaragaman hayati, menyediakan air minum, mengurangi risiko banjir, serta membantu menstabilkan iklim global. “Jika dikelola dengan benar, lahan gambut dapat menjadi penyerap karbon,” kata Jones.
Selama ini, upaya mitigasi iklim di lahan gambut banyak berfokus pada restorasi penuh menjadi lahan basah alami. Meski efektif secara ekologis, pendekatan ini sering menemui jalan buntu karena persoalan ekonomi. Lahan gambut yang direstorasi total umumnya tidak lagi cocok untuk pertanian intensif atau perkebunan, sehingga petani dan pemilik lahan kehilangan sumber pendapatan.
Di sinilah penelitian ini menawarkan jalan tengah. Alih-alih mengubah seluruh kawasan menjadi rawa, menaikkan muka air secara moderat sudah cukup untuk menekan emisi karbon secara signifikan, sambil tetap membuka ruang bagi aktivitas pertanian tertentu.
Jika kondisi memungkinkan untuk pembasahan yang lebih tinggi, manfaatnya bahkan melampaui sekadar pencegahan kerusakan. Penyerapan karbon dapat meningkat hingga membantu mendinginkan suhu bumi. “Hasil kami menunjukkan bahwa langkah mitigasi yang disesuaikan dengan kondisi lokal di lahan gambut pertanian dapat menghasilkan pengurangan emisi yang besar. Dan ini perlu dilakukan sekarang,” tegas Jones.
Ia menambahkan, kenaikan muka air harus dilakukan secepat mungkin untuk mencegah oksidasi lanjutan dan mencapai target emisi nol bersih dalam 30 tahun ke depan, sejalan dengan Perjanjian Paris. Selain itu, pengembangan tanaman yang tahan air dan layak secara ekonomi dinilai penting agar pertanian di lahan gambut tetap bisa berjalan secara berkelanjutan.
Studi ini dilakukan dengan mengukur emisi CO₂ di 16 lokasi lahan gambut di Inggris Raya dan Irlandia. Lokasi tersebut mewakili berbagai tipe lahan gambut beriklim sedang, mulai dari lahan basah yang hampir alami, area yang telah direstorasi, hingga padang rumput dan lahan pertanian intensif. Hasilnya memperkuat satu pesan utama: menyelamatkan lahan gambut tidak selalu berarti menghentikan aktivitas manusia, tetapi mengelolanya dengan lebih cerdas.
