Sains

Hidrogen Dinilai Bukan Sepenuhnya Bebas Masalah bagi Iklim, Studi Terbaru Ungkap Dampak Tak Langsung Pemanasan

49
Tangki penyimpanan hidrogen hasil produksi dari pabrik hidrogen hijau yang berada di pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) Muara Tawar, Jawa Barat, yang dikelola oleh PLN Nusantara Power. (Dok PLN)

KabarHijau.com – Hidrogen selama ini dipromosikan sebagai salah satu solusi masa depan untuk mengatasi krisis iklim. Bahan bakar ini digadang-gadang mampu menggantikan fosil di sektor transportasi dan industri berat karena saat digunakan hanya menghasilkan uap air. Namun, sebuah studi terbaru mengingatkan bahwa hidrogen juga memiliki sisi lain yang perlu diwaspadai.

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Nature pada Rabu lalu (17/12) menemukan bahwa peningkatan emisi hidrogen berkontribusi, meski kecil, terhadap kenaikan suhu global. Hidrogen diketahui berperan memperpanjang umur metana di atmosfer, gas rumah kaca yang jauh lebih kuat dibanding karbon dioksida.

Menurut hasil studi tersebut, emisi hidrogen global meningkat sepanjang periode 1990 hingga 2020. Kenaikan ini menyumbang sekitar 0,02 derajat Celsius terhadap hampir 1,5 derajat Celsius peningkatan suhu rata-rata global sejak era pra-industri.

“Kita membutuhkan pemahaman yang lebih dalam tentang siklus hidrogen global dan keterkaitannya dengan pemanasan global agar ekonomi hidrogen yang aman bagi iklim dan berkelanjutan benar-benar dapat terwujud,” ujar Rob Jackson, ilmuwan Universitas Stanford sekaligus penulis senior penelitian ini.

Studi ini dilakukan oleh konsorsium ilmuwan internasional yang tergabung dalam Global Carbon Project. Para peneliti menyimpulkan bahwa peningkatan emisi hidrogen terutama dipicu oleh aktivitas manusia. Lonjakan tersebut berkaitan erat dengan naiknya emisi metana dari bahan bakar fosil, peternakan, dan tempat pembuangan akhir sampah.

Secara alami, metana akan menghasilkan hidrogen ketika terurai di atmosfer. Meski hidrogen tidak dikategorikan sebagai polutan, gas ini berdampak tidak langsung pada iklim. Hidrogen menyerap “pembersih alami” atmosfer yang berfungsi menghancurkan metana. Akibatnya, metana bertahan lebih lama di udara dan memperpanjang efek pemanasan global.

“Semakin banyak hidrogen di atmosfer, semakin sedikit pembersih alami yang tersedia. Ini menyebabkan metana bertahan lebih lama dan memanaskan iklim dalam jangka waktu yang lebih panjang,” kata Zutao Ouyang, penulis utama studi dan asisten profesor pemodelan ekosistem di Auburn University, Alabama.

Interaksi hidrogen dengan pembersih alami atmosfer juga memengaruhi pembentukan awan serta menghasilkan gas rumah kaca lain seperti ozon dan uap air di stratosfer.

Selain berasal dari proses alami, sumber hidrogen di atmosfer sejak 1990 juga mencakup kebocoran dari produksi hidrogen industri. Hidrogen dapat diproduksi melalui proses elektrolisis, yakni pemecahan air menjadi hidrogen dan oksigen menggunakan arus listrik.

Namun hingga kini, sebagian besar hidrogen dunia masih diproduksi dari gas alam atau batu bara melalui proses intensif energi yang justru menghasilkan emisi karbon dioksida dalam jumlah besar.

Target jangka panjangnya adalah memproduksi “hidrogen hijau” menggunakan energi terbarukan. Meski demikian, biaya produksi yang tinggi dan berbagai kendala teknis membuat pengembangan hidrogen hijau dalam skala besar masih menghadapi tantangan serius.

Studi ini menjadi pengingat bahwa transisi energi bersih tidak hanya soal mengganti bahan bakar, tetapi juga memahami dampak tersembunyi dari setiap teknologi yang ditawarkan sebagai solusi iklim.

Exit mobile version