Isu Terkini

WALHI Aceh: Mayoritas Perusahaan Sawit Belum Adil terhadap Lingkungan

310

Banda Aceh, KabarHijau.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menyoroti bahwa mayoritas perusahaan kelapa sawit di provinsi paling barat Indonesia ini belum mencerminkan prinsip keadilan terhadap lingkungan hidup.

“Kita berikan proper (program penilaian peringkat kinerja perusahaan) merah kepada 16 dari total 22 perusahaan kelapa sawit di Aceh karena belum mencerminkan prinsip keadilan,” ujar Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal, di Banda Aceh, Kamis (27/2).

Selain rendahnya kepatuhan terhadap standar lingkungan hidup, WALHI Aceh juga mencatat bahwa konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat masih sering terjadi di Aceh. Menurut Afifuddin, kondisi ini menunjukkan bahwa permasalahan lingkungan dan sosial dalam sektor perkebunan sawit di Aceh belum terselesaikan secara komprehensif.

Masih Banyak Pelanggaran Lingkungan

Afifuddin menambahkan, mayoritas perusahaan sawit di Aceh belum memenuhi standar dalam pengelolaan limbah, pengendalian pencemaran air, serta perizinan berbasis lingkungan. Bahkan, banyak perusahaan yang diduga kuat terlibat dalam perusakan hutan hingga alih fungsi kawasan lindung untuk kepentingan perkebunan.

“Banyak operasional dari kelapa sawit yang berdampak buruk terhadap lingkungan, mulai dari pencemaran sungai, pembuangan limbah tanpa pengolahan yang memadai, hingga perambahan kawasan hutan. Maka atas kondisi seperti itu, sudah selayaknya mereka mendapatkan Proper merah,” tegasnya.

Berdasarkan hasil pemantauan lapangan WALHI Aceh, banyak perusahaan masih beroperasi dengan cara yang berisiko tinggi terhadap lingkungan. Pelanggaran yang sering ditemukan mencakup penggunaan lahan secara ilegal, minimnya investasi dalam sistem pengelolaan limbah yang ramah lingkungan, serta lemahnya pengawasan dari pihak berwenang.

Dampak Buruk terhadap Masyarakat dan Satwa Liar

Afifuddin menjelaskan bahwa praktik industri sawit yang buruk tidak hanya menyebabkan degradasi lingkungan, tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan masyarakat sekitar.

“Pencemaran sungai merusak sumber air bersih yang menjadi kebutuhan utama masyarakat. Sementara itu, deforestasi akibat ekspansi sawit mengancam keberlanjutan ekosistem dan populasi satwa liar di Aceh,” katanya.

Selain itu, ekspansi perkebunan sawit yang merambah kawasan hutan turut memperburuk konflik antara manusia dan satwa liar. Gajah sering masuk ke pemukiman dan perkebunan warga akibat habitatnya yang semakin terganggu. Jalur migrasi satwa pun terputus akibat ekspansi perkebunan sawit yang tidak terkendali.

“Bukan hanya gajah, tetapi juga satwa lain seperti harimau dan orangutan turut terancam akibat perusakan habitat mereka,” tambahnya.

Konflik Agraria dan Hak Masyarakat Adat

Selain pencemaran lingkungan, WALHI Aceh juga mencatat bahwa ekspansi perusahaan sawit di Aceh memicu konflik agraria yang merugikan masyarakat lokal dan masyarakat adat.

“Banyak perusahaan diduga menguasai lahan tanpa izin yang sah atau dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan petani setempat,” ujarnya.

Tak hanya itu, WALHI Aceh juga menemukan bahwa sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan sawit terjadi di banyak daerah, termasuk di wilayah dengan izin Hak Guna Usaha (HGU) yang bermasalah. Konflik ini sering kali berujung pada kriminalisasi terhadap petani atau warga yang mempertahankan hak atas tanah mereka, sementara penyelesaian kasus berjalan lambat dan cenderung berpihak pada perusahaan.

“Ini hanya sebagian kecil dari banyaknya konflik tenurial yang terjadi di Aceh antara warga dan perusahaan sawit yang hingga kini belum terselesaikan,” ungkap Afifuddin.

Dorongan Evaluasi dan Transparansi Proper

WALHI Aceh menilai bahwa pemberian Proper kepada perusahaan kelapa sawit selama ini masih dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Seharusnya, dalam proses penilaian Proper, masyarakat lokal dan masyarakat adat yang telah menjaga hutan secara turun-temurun juga dilibatkan.

“Dalam pengawasan dan pemberian Proper, masyarakat dan organisasi masyarakat sipil harus terlibat. Dengan adanya tekanan dari berbagai pihak, kita bisa memastikan bahwa perusahaan benar-benar menjalankan tanggung jawabnya terhadap lingkungan,” tutup Afifuddin.

Exit mobile version