Aceh Utara, KabarHijau.com — Proyek Green Ammonia Initiative from Aceh (GAIA) yang digadang-gadang sebagai tonggak transisi energi hijau Indonesia kini menuai penolakan keras. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) secara resmi mengajukan petisi kepada PT Pupuk Indonesia (Persero), Toyo Engineering Corporation, dan ITOCHU Corporation untuk menghentikan proyek tersebut karena dinilai sarat masalah, mulai dari ketergantungan pada energi fosil, ancaman keselamatan warga, hingga pelanggaran hak atas informasi dan partisipasi publik.
Dalam petisi yang disampaikan pada 19 Desember 2025, WALHI menegaskan bahwa proyek GAIA tidak mencerminkan transisi energi yang sesungguhnya. Klaim produksi amonia hijau dianggap menyesatkan karena proses elektrolisis hidrogen masih menggunakan pasokan listrik dari jaringan PLN Aceh yang sekitar 98 persen berbasis energi fosil. Dengan kondisi itu, WALHI menyebut produk yang dihasilkan tidak layak disebut amonia hijau, melainkan amonia hibrida.
Penggunaan Renewable Energy Certificate (REC) sebagai dasar klaim hijau juga menuai kritik. WALHI menilai REC hanya bersifat administratif dan tidak menjamin pasokan energi terbarukan secara fisik. Praktik ini dinilai sebagai bentuk greenwashing yang bertentangan dengan komitmen global perusahaan terhadap Paris Agreement, SDGs, serta prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG).
Risiko keselamatan masyarakat menjadi perhatian utama. Proyek GAIA direncanakan di kawasan PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), perusahaan pupuk yang memiliki catatan panjang insiden kebocoran amonia. Dalam periode 2010 hingga 2025, tercatat sembilan kali kebocoran yang berdampak pada sekitar 2.000 warga di Aceh Utara dan Lhokseumawe. Dampak kesehatan yang dialami warga meliputi sesak napas, mual, pingsan, hingga harus menjalani perawatan intensif.
Laporan Assessment Dampak Produksi PT PIM yang disusun WALHI Aceh mengungkap lemahnya sistem tanggap darurat di sekitar kawasan industri. Tidak adanya prosedur evakuasi yang jelas, penggunaan sirene yang membingungkan, serta minimnya perlindungan bagi kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan ibu hamil, dinilai memperbesar potensi korban jika proyek GAIA tetap dijalankan.
Dampak sosial ekonomi juga dirasakan masyarakat pesisir. Nelayan kecil kehilangan akses pantai akibat alih fungsi kawasan menjadi zona industri. Tradisi pukat darat menghilang, hasil tangkapan menurun, dan biaya melaut meningkat akibat dugaan pencemaran laut. Sementara itu, manfaat ekonomi dari industri tidak dirasakan secara merata dan kompensasi yang diberikan perusahaan dinilai tidak sebanding dengan kerugian warga.
Persoalan lain yang disorot WALHI adalah minimnya transparansi. Masyarakat di desa-desa lingkar industri di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, disebut tidak pernah mendapatkan penjelasan resmi terkait rencana proyek GAIA. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara dikabarkan hanya mengetahui proyek tersebut melalui pemberitaan media. Kondisi ini dinilai melanggar hak masyarakat atas informasi dan partisipasi bermakna dalam pembangunan.
Secara hukum, WALHI menilai proyek GAIA bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Prinsip partisipasi publik yang menjadi dasar transisi energi berkeadilan juga diabaikan.
Atas dasar itu, WALHI mendesak PT Pupuk Indonesia, Toyo Engineering, dan ITOCHU Corporation untuk menghentikan proyek GAIA dan mengevaluasi kembali arah transisi energi di Indonesia.
“Transisi energi tidak boleh dibangun di atas klaim palsu, risiko keselamatan, dan pengabaian hak masyarakat. Jika itu yang terjadi, maka yang lahir bukan solusi, melainkan krisis baru,” tegas WALHI.










