Wawasan

Banjir Sumatra 2025: Alam yang Menagih Janji, Mendesaknya Revisi UU Kehutanan

110
×

Banjir Sumatra 2025: Alam yang Menagih Janji, Mendesaknya Revisi UU Kehutanan

Sebarkan artikel ini
Kondisi Banjir di Gampong Krueng Matee, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, 26 November 2025

KabarHijau.com – Desember 2025 akan dicatat dalam tinta hitam sejarah kebencanaan di Sumatra, khususnya di Serambi Mekkah. Angka-angka yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 19 Desember kemarin bukan sekadar statistik; itu adalah jeritan dari ribuan keluarga yang kehilangan masa depan.

Data menunjukkan total 1.068 nyawa melayang di tiga provinsi (Aceh, Sumut, Sumbar), dengan 190 orang masih dinyatakan hilang. Namun, yang paling memilukan adalah fakta bahwa Aceh menanggung beban penderitaan terberat. Dari total 537.185 pengungsi di seluruh wilayah terdampak, sebanyak 506.946 jiwa berasal dari Aceh. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang menuntut lebih dari sekadar belas kasihan; ini menuntut pertanggungjawaban ekologis dan pembaruan hukum yang radikal.

Bukan Sekadar “Faktor Cuaca”

Narasi klasik yang selalu berulang setiap akhir tahun adalah menyalahkan curah hujan ekstrem. Benar, operasi modifikasi cuaca (OMC) terus dilakukan, dengan pesawat menebar puluhan ton bahan semai di langit Aceh dan Sumatra Barat. Namun, hujan hanyalah pemicu (trigger), sementara penyebab utamanya adalah daya dukung lingkungan yang telah runtuh.

Lihatlah apa yang terjadi di Aceh Utara dan Aceh Tamiang, dua daerah dengan dampak terparah. Infrastruktur vital lumpuh. Jembatan Teupin Reudeup di Bireuen putus , Jalan KKA yang menghubungkan Aceh Utara-Bener Meriah sempat tertimbun longsor hebat sebelum akhirnya bisa ditembus alat berat.

Tanah longsor yang masif dan banjir bandang yang menyapu hingga ke pusat kota bukan lagi fenomena alam biasa, melainkan bukti bahwa “benteng hijau” kita di hulu telah jebol. Hutan yang seharusnya menjadi spons alami penyerap air kini telah beralih fungsi. Ketika 12 daerah di Aceh masih berstatus tanggap darurat, kita harus berani menunjuk hidung penyebab utamanya: deforestasi dan tata kelola hutan yang amburadul.

Urgensi UU Kehutanan Baru

Bencana 2025 ini harus menjadi momentum mendesak untuk merombak total Undang-Undang Kehutanan kita. Regulasi yang ada saat ini terbukti ompong menghadapi laju kerusakan lingkungan. Kita membutuhkan “UU Kehutanan Baru” yang tidak lagi memandang hutan semata-mata sebagai komoditas ekonomi (kayu dan tambang), melainkan sebagai infrastruktur keselamatan rakyat.

Setidaknya ada tiga poin krusial yang harus dimuat dalam revisi hukum kehutanan pasca-tragedi 2025 ini:

Pertama, Redefinisi Kawasan Lindung yang Kaku. Pemerintah tidak boleh lagi kompromi dengan alih fungsi lahan di area dengan kelerengan curam dan curah hujan tinggi, seperti di wilayah pegunungan tengah Aceh dan pesisir barat Sumatra. Izin konsesi di wilayah hulu sungai (catchment area) harus dicabut tanpa syarat.

Kedua, Sanksi Pidana Korporasi dan Pemulihan Ekologis. Hukum baru harus memastikan bahwa pelaku perusakan hutan—baik legal maupun ilegal—wajib menanggung biaya pemulihan. Biaya logistik dan kerugian yang diderita 500 ribu lebih pengungsi Aceh tidak seharusnya hanya dibebankan pada APBN/APBD, tetapi juga ditagih kepada pihak-pihak yang menyebabkan degradasi lahan di hulu.

Ketiga, Pelibatan Masyarakat Adat dan Mukim. Di Aceh, kita memiliki lembaga Panglima Uteuen dan kelembagaan adat Mukim yang menjaga hutan (Hutan Adat). UU Kehutanan Baru harus memberikan wewenang lebih besar kepada kearifan lokal ini untuk menjaga batas hutan mereka, karena masyarakat lokallah yang paling pertama menjadi korban saat bencana datang.

Waktu Kita Hampir Habis

Saat ini, fokus utama memang pada penyelamatan. Helikopter terus berputar mendistribusikan logistik ke daerah terisolir seperti Kecamatan Linge di Aceh Tengah. Namun, setelah air surut dan tangki air bersih kembali mengalir lancar—seperti yang mulai pulih di Padang —kita tidak boleh lupa.

Jangan biarkan 456 nyawa warga Aceh yang hilang sia-sia. Jika kita tidak segera melahirkan payung hukum perlindungan hutan yang lebih kuat dan tegas, kita hanya sedang menunggu waktu untuk menyambut bencana yang lebih besar di Desember tahun depan.

Alam Sumatra sudah menagih janji keseimbangannya. Apakah kita akan menjawabnya dengan kebijakan nyata, atau kembali menutup mata?