Sampul buku Carbon Colonialism karya Laurie Parsons menggambarkan seorang pria di perahu kayu yang terapung di lautan sampah plastik. Gambar itu bukan sekadar metafora, melainkan cerminan nyata dari ketimpangan global yang mengakar: negara-negara kaya di Utara mengekspor kerusakan iklim ke negara-negara Selatan, sambil terus menikmati kemakmuran dari sistem yang timpang. Dalam buku terbarunya, Parsons membongkar praktik “kolonialisme karbon”—sebuah sistem di mana negara maju mengalihkan beban emisi, limbah, dan risiko iklim ke negara berkembang melalui rantai pasokan global. Analisisnya tidak hanya mengungkap ketidakadilan struktural, tetapi juga menuntut tindakan radikal untuk merombak tatanan hukum dan ekonomi yang selama ini mengabadikan krisis.
Dari Perbudakan ke Rantai Pasokan: Warisan Eksploitasi yang Tak Berakhir
Parsons menelusuri akar kolonialisme karbon hingga ke era imperialisme, ketika eksploitasi sumber daya alam dan manusia menjadi mesin pertumbuhan ekonomi negara-negara kolonial. Contoh klasiknya adalah industri kapas AS yang dibangun di atas pundak perbudakan. Kini, meski perbudakan formal telah hilang, mekanisme serupa tetap hidup melalui rantai pasokan global. Negara maju mengimpor bahan mentah dan produk murah dari Selatan, sementara emisi karbon, limbah industri, dan risiko lingkungan “dioutsource” ke negara berkembang. Hasilnya? Utara menikmati kemakmuran, sementara Selatan menanggung dampak kekeringan, banjir, polusi, dan kerusakan ekosistem.
Contoh nyata terlihat di Kamboja, tempat Parsons meneliti pabrik batu bata dan garmen. Pekerja di industri ini hidup dalam kondisi berbahaya: upah rendah, paparan polusi, dan kerentanan ekstrem terhadap gelombang panas—efek nyata perubahan iklim yang diperburuk oleh industrialisasi. Namun, perusahaan multinasional yang mengontrol rantai pasokan ini kebal dari tuntutan hukum, karena regulasi lingkungan dan ketenagakerjaan di negara berkembang seringkali lemah.
Konsumerisme Hijau dan Ilusi Solusi Individu
Salah satu kritik tajam Parsons adalah terhadap praktik greenwashing—strategi perusahaan untuk mengklaim diri “ramah lingkungan” sambil terus meraup keuntungan dari eksploitasi. Misalnya, merek fast fashion yang mengkampanyekan koleksi “berkelanjutan”, tetapi tetap memproduksi massal di pabrik-pabrik dengan jejak karbon tinggi di Bangladesh atau Vietnam. Parsons menegaskan: membeli produk hijau bukan solusi. Perubahan perilaku individu, meski penting, tidak akan menghentikan mesin kapitalisme global yang menggurita.
COP27 hingga Akademisi: Ketimpangan Kuasa dalam Wacana Iklim
Ketidakadilan juga tercermin dalam forum iklim global. Di COP27, negara kecil seperti Kepulauan Marshall atau Bangladesh berteriak tentang dana “kerugian dan kerusakan”, tetapi keputusan akhir tetap didikte oleh negara maju. Sementara itu, korporasi pencemar mendapat panggung lewat skema offset karbon yang seringkali ilusif. Parsons menyoroti bahwa bahkan dalam dunia akademik, wacana iklim didominasi oleh suara kulit putih dan kelas menengah dari Barat. Di Inggris, 50% akademisi berasal dari kalangan elit, sementara hanya 15% yang berlatar kelas pekerja. Bagaimana mungkin solusi iklim inklusif lahir dari ruang yang eksklusif?
Belajar dari Kearifan Tradisional: Alam Bukan Komoditas
Parsons mengajak pembaca merenungi filosofi masyarakat adat yang memandang alam sebagai entitas sakral, bukan sekadar sumber daya. Hutan-hutan di India, Tasmania, atau Amazon bertahan ribuan tahun berkat nilai spiritual ini. Sebaliknya, negara maju mengkapitalisasi alam melalui skema seperti kredit karbon, yang justru mengkomodifikasi ekosistem. Solusinya? Ubah cara mengukur emisi: hitung berdasarkan konsumsi, bukan produksi. Jika Amerika atau Eropa bertanggung jawab atas emisi dari smartphone atau fast fashion yang mereka konsumsi—meski diproduksi di China atau Vietnam—maka beban iklim akan lebih terdistribusi adil.
Aksi Kolektif atau Bencana Kolektif
Parsons menolak narasi bahwa “kita semua sama-sama bersalah” atas krisis iklim. Faktanya, 1% populasi terkaya menyumbang emisi lebih besar daripada 66% penduduk termiskin. Untuk itu, ia mendorong aktivisme kolektif yang menekan korporasi dan pemerintah. Protokol Kyoto gagal karena berfokus pada produksi, bukan konsumsi. Perlu kerangka hukum baru yang memaksa negara maju memikul tanggung jawab atas jejak karbon global mereka.
Penutup: Keberlanjutan Tanpa Keadilan Adalah Utopia
Carbon Colonialism mengingatkan kita bahwa krisis iklim tidak bisa dipisahkan dari ketimpangan struktural. Melindungi Bumi harus sejalan dengan memutus rantai eksploitasi manusia dan alam. Seperti kata Parsons, “Ekstraksi dan eksploitasi selalu berjalan beriringan.” Jika Utara terus menguras Selatan, maka janji net-zero emission hanyalah ilusi. Saatnya mendengarkan suara pekerja Kamboja, petani Bangladesh, dan masyarakat adat—kelompok yang paling rentan, tetapi justru paling sedikit diwakili dalam panggung iklim global.
Buku ini adalah seruan untuk revolusi sistemik: bukan hanya transisi energi, tetapi juga keadilan sosial. Untuk pembaca KabarHijau.com, inilah bacaan wajib yang mengubah cara kita memandang iklim—bukan sebagai isu teknis, melainkan pertaruhan atas masa depan yang setara.











