KabarHijau.com – Setelah kekeringan menghancurkan sebagian besar hutan mangrove di Senegal, proyek restorasi yang didanai oleh perdagangan karbon internasional berhasil menghidupkan kembali ekosistem dan meningkatkan perekonomian lokal. Namun, di balik keberhasilan ini, muncul kritik mengenai dampak sosial dari program kredit karbon, terutama bagi masyarakat yang terlibat dalam proses rehabilitasi.
Harapan Baru bagi Ekosistem dan Masyarakat
Mangrove di delta Saloum dan Casamance, Senegal, mengalami penurunan drastis sejak kekeringan besar pada 1970-an. Hilangnya mangrove tidak hanya mengurangi habitat alami, tetapi juga menghancurkan sumber penghidupan masyarakat setempat yang bergantung pada hasil laut, seperti tiram dan ikan.
Pada tahun 2009, organisasi non-pemerintah (NGO) Senegalese, Oceanium, memulai proyek restorasi mangrove terbesar di dunia dengan dukungan dana dari perusahaan multinasional Eropa melalui skema kredit karbon. Dalam waktu tiga tahun, sekitar 300 perempuan dari desa Joal-Fadiout dan komunitas lain di Senegal menanam lebih dari 80 juta bibit mangrove di area seluas lebih dari 10.000 hektare.
Bagi masyarakat setempat, terutama para perempuan yang bekerja mengumpulkan dan menjual hasil laut, pemulihan mangrove membawa manfaat nyata. Hélène Sonko, seorang ibu tunggal berusia 42 tahun dari Joal-Fadiout, mengaku bahwa kini ia dapat mengumpulkan lebih banyak tiram untuk dijual, yang membantu menopang perekonomian keluarganya.
Kredit Karbon: Keuntungan atau Eksploitasi?
Meskipun proyek ini membawa dampak positif bagi lingkungan dan ekonomi lokal, banyak pekerja merasa tidak mendapat kompensasi yang layak. Para perempuan yang menanam mangrove hanya dibayar sekitar 2.000 Franc CFA (sekitar Rp50.000) per hari—jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan anggaran proyek sebesar 4,4 juta dolar AS (sekitar Rp69 miliar).
Ironisnya, mereka baru mengetahui bahwa pekerjaan mereka didanai oleh perusahaan besar Eropa yang membeli kredit karbon untuk mengimbangi emisi mereka. “Kami tahu NGO dan mitranya yang mendapatkan jutaan dari proyek ini, bukan kami,” ujar Sonko dengan nada kecewa.
Lebih dari itu, ketidakjelasan transparansi keuangan proyek ini menjadi sorotan. Sebagian besar dana ternyata digunakan untuk membayar auditor karbon dan biaya sertifikasi, bukan untuk kompensasi pekerja lokal. Menurut studi terbaru, hanya 12% dari proyek kredit karbon yang benar-benar memberikan dampak pengurangan emisi karbon secara signifikan, sementara sisanya lebih banyak berfungsi sebagai pembenaran bagi perusahaan besar untuk terus menghasilkan emisi.
Masa Depan Restorasi Mangrove di Afrika
Di satu sisi, kredit karbon memberikan peluang pembiayaan bagi proyek restorasi lingkungan, terutama di negara-negara berkembang yang kekurangan dana. Namun, tanpa regulasi yang jelas dan keadilan dalam distribusi manfaat, proyek-proyek seperti ini bisa berujung pada eksploitasi masyarakat lokal.
Beberapa ahli menyarankan bahwa alternatif yang lebih adil adalah mengenakan pajak kepada perusahaan pencemar dan menggunakan dana tersebut untuk mendukung proyek lingkungan secara langsung, tanpa perlu melibatkan skema perdagangan karbon.
Bagi masyarakat Senegal, hutan mangrove adalah sumber kehidupan, bukan sekadar alat untuk mengimbangi emisi karbon negara-negara maju. Keberlanjutan ekosistem ini harus berjalan seiring dengan kesejahteraan komunitas yang menjaga dan menggantungkan hidup padanya.
Sumber: Hakai Magazine
