Komunitas

Harga Sosial dari Kredit Karbon: Kisah Rehabilitasi Mangrove di Senegal

397
Setelah kekeringan membunuh sebagian besar hutan bakau Senegal, proyek restorasi yang didanai oleh perdagangan karbon internasional telah memulihkan ekosistem dan perekonomian. Namun para kritikus berpendapat bahwa biaya sosial program pengimbangan karbon bisa sangat tinggi, khususnya di Afrika. Foto oleh Nick Fox/Alamy Stock Photo

Di tengah lumpur hutan bakau yang mengelilingi kota Joal-Fadiout, di delta Sungai Saloum, Senegal, Hélène Sonko berjuang mengumpulkan tiram dari akar bakau. Dengan tangan bersarung dan kaki terendam air payau setinggi lutut, perempuan 42 tahun ini bekerja untuk menopang keluarganya dan membiayai pendidikan lima anaknya.

Namun, kondisi ini tidak selalu demikian. Kekeringan pada 1970-an menyebabkan matinya lebih dari sepertiga hutan bakau di Senegal. Akibatnya, kelaparan melanda, tingkat malnutrisi dan kemiskinan meningkat, serta hasil tangkapan laut menurun drastis. Bahkan hingga 1990-an, kondisi ekosistem ini belum pulih.

Pada 2009, organisasi non-pemerintah Senegal, Oceanium, menawarkan proyek rehabilitasi bakau sebagai bagian dari inisiatif pemulihan ekosistem terbesar di dunia. Dalam tiga tahun, sekitar 300 perempuan dari Joal-Fadiout menanam puluhan ribu bibit bakau. Secara keseluruhan, proyek ini berhasil memulihkan 10.410 hektare bakau di delta Saloum dan Casamance.

Bagi komunitas lokal, rehabilitasi ini membawa dampak positif—stok tiram meningkat, perikanan membaik, dan bakau kembali melindungi pesisir dari abrasi dan naiknya permukaan air laut. Namun, proyek ini juga menyoroti masalah mendasar dalam sistem perdagangan karbon global: apakah masyarakat lokal benar-benar mendapatkan manfaat yang adil dari program kredit karbon?


Perdagangan Karbon: Solusi atau Sekadar Kedok Hijau?

Mangrove memiliki kapasitas menyerap karbon hingga lima kali lebih besar daripada hutan hujan daratan, menjadikannya alat penting dalam mitigasi perubahan iklim. Perusahaan swasta melihat ini sebagai peluang emas—mereka mendanai proyek restorasi ekosistem dan, sebagai imbalan, memperoleh kredit karbon yang dapat digunakan untuk mengimbangi emisi gas rumah kaca mereka.

Sepuluh perusahaan Eropa, termasuk Danone dan Hermès, membiayai proyek di Senegal ini dengan skema kredit karbon. Dengan total anggaran mencapai 4,4 juta dolar AS, proyek ini menjadi bagian dari tren yang berkembang pesat di Afrika, di mana nilai pasar kredit karbon diprediksi meningkat 19 kali lipat dari 2021 hingga 2030.

Namun, skema ini menuai kritik. Laporan investigasi The Guardian pada 2023 mengungkap bahwa 90 persen dari kredit karbon hutan hujan yang disertifikasi oleh Verra—organisasi yang juga memvalidasi proyek Senegal—ternyata tidak benar-benar mengurangi emisi karbon. Para kritikus menilai bahwa kredit karbon justru memberi jalan bagi perusahaan pencemar untuk terus beroperasi tanpa mengubah kebijakan mereka secara mendasar.

Tak hanya itu, proyek-proyek ini sering kali tidak memberikan keuntungan yang adil bagi masyarakat lokal yang terlibat dalam restorasi. Seperti yang terjadi di Senegal, banyak pekerja hanya menerima upah kecil sementara perusahaan besar meraup keuntungan dari kredit karbon yang dihasilkan.


Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?

Selama tiga tahun pertama proyek, perempuan seperti Hélène Sonko bekerja mulai pukul 05.00 pagi, berjalan tanpa alas kaki di lumpur, menanam bibit bakau, dan sering kali terluka akibat akar dan cangkang tajam. Bayaran mereka? Hanya 2.000 franc CFA per hari, setara dengan 3 dolar AS.

“2.000 CFA tidak cukup untuk pekerjaan seberat ini,” kata Sonko. “Kami melakukannya karena cinta terhadap bakau.”

Yang lebih mengejutkan, para pekerja ini tidak tahu bahwa dana yang membiayai proyek berasal dari perusahaan multinasional. Jika mereka tahu, mungkin mereka akan menuntut bayaran lebih layak.

Sebagian besar dari 4,4 juta dolar AS anggaran proyek justru terserap oleh biaya administrasi, verifikasi karbon, dan konsultan asing. Oceanium membayar komunitas lokal hanya 10.000 CFA (sekitar 22 dolar AS) per hektare untuk restorasi—jumlah yang hanya mencakup 5,2 persen dari total anggaran. Sisanya? Dibayarkan kepada auditor karbon yang mengenakan tarif hingga 2.000 dolar AS per hari serta biaya sertifikasi yang mencapai ratusan ribu dolar.

Gilles Dufrasne dari organisasi pemantau Carbon Market Watch menyatakan bahwa sistem perdagangan karbon saat ini tidak memiliki transparansi keuangan yang jelas. “Harga karbon yang dihasilkan di negara-negara seperti Senegal bisa sangat murah, hanya 3 dolar per ton, dibandingkan dengan harga di Amerika Serikat yang bisa mencapai 130 dolar per ton,” jelasnya.

Dengan upah rendah dan akses lahan gratis, proyek-proyek di Global South menjadi sangat menguntungkan bagi perusahaan kredit karbon. Namun, apakah masyarakat lokal benar-benar mendapatkan manfaat yang setimpal?


Dampak Ekologis dan Keberlanjutan Proyek

Selain isu sosial dan ekonomi, proyek ini juga menghadapi tantangan ekologis. Oceanium memilih untuk menanam satu jenis bakau dari genus Rhizophora, karena lebih murah dan mudah tumbuh. Namun, di masa lalu, delta Saloum memiliki tujuh spesies bakau dari empat genus berbeda.

Marie-Christine Cormier-Salem, peneliti dari Institut Penelitian Nasional Prancis untuk Pembangunan Berkelanjutan, memperingatkan bahwa hutan bakau hasil reforestasi ini lebih menyerupai perkebunan daripada ekosistem alami. “Monokultur seperti ini lebih rentan terhadap penyakit dan perubahan iklim,” katanya.

Di beberapa lokasi, penanaman yang tidak tepat justru menghambat regenerasi alami ekosistem bakau yang lebih beragam. Salah satu proyek rehabilitasi bakau di dekat Joal-Fadiout, yang didanai oleh perusahaan Belgia WeForest, gagal karena banyak tanaman yang mati akibat kesalahan pemilihan lokasi.

“Kami tidak menanamnya dengan cara yang benar. Mereka hanya mengejar keuntungan,” ujar Samba Diouf, seorang nelayan lokal yang terlibat dalam proyek tersebut.


Mencari Model Konservasi yang Lebih Adil

Beberapa pakar berpendapat bahwa sistem perdagangan karbon seharusnya tidak menjadi solusi utama untuk mendanai restorasi lingkungan. Alternatifnya, mereka menyarankan pajak bagi perusahaan pencemar, yang hasilnya digunakan untuk mendukung proyek konservasi secara langsung.

“Kita perlu beralih dari pendekatan berbasis kompensasi ke pendekatan berbasis keadilan lingkungan,” kata Frédéric Mousseau dari Oakland Institute.

Namun, dengan meningkatnya permintaan akan kredit karbon, proyek-proyek serupa di Afrika terus berkembang. Tahun lalu, perusahaan Swiss Allcot memulai proyek monokultur bakau seluas 7.000 hektare di Senegal, sementara Oceanium dan WeForest meluncurkan proyek lain seluas 7.000 hektare lagi.

Tanpa regulasi yang lebih ketat dan keterlibatan masyarakat lokal yang lebih besar, ada risiko bahwa proyek-proyek ini hanya akan mengulang pola eksploitasi yang sama.


Proyek restorasi bakau di Senegal menunjukkan bahwa perdagangan karbon bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ekosistem yang rusak berhasil diperbaiki, meningkatkan sumber daya laut dan melindungi pesisir dari dampak perubahan iklim. Namun, di sisi lain, masyarakat lokal yang melakukan pekerjaan berat hanya menerima manfaat ekonomi yang minim, sementara perusahaan multinasional menikmati keuntungan besar dari kredit karbon yang dihasilkan.

Jika perdagangan karbon ingin menjadi solusi yang benar-benar berkelanjutan, maka harus ada reformasi dalam cara proyek-proyek ini dirancang dan dijalankan. Keterlibatan masyarakat lokal, transparansi keuangan, dan keadilan sosial harus menjadi prioritas utama—bukan hanya sekadar angka di neraca karbon perusahaan global.

Sumber: Hakai Magazine

Exit mobile version