Wawasan

Kolonialisme Limbah Karbon dan Perpres No. 14/2024: Perspektif Kritis

568
×

Kolonialisme Limbah Karbon dan Perpres No. 14/2024: Perspektif Kritis

Sebarkan artikel ini

KabarHijau.com – Kolonialisme, dalam sejarahnya, sering kali diidentikkan dengan eksploitasi sumber daya alam dan tenaga manusia oleh negara-negara maju terhadap negara-negara yang lebih lemah. Namun, di era modern ini, kolonialisme tidak lagi hanya berbentuk fisik atau militer. Ia telah bertransformasi menjadi bentuk-bentuk baru yang lebih halus namun tetap memiliki dampak merugikan bagi negara-negara berkembang. Salah satu bentuk kolonialisme modern adalah apa yang disebut sebagai “kolonialisme limbah karbon” (carbon colonialism). Fenomena ini mengacu pada praktik negara-negara maju yang mengekspor emisi karbon mereka—baik dalam bentuk limbah industri maupun gas rumah kaca lainnya—ke negara-negara berkembang melalui mekanisme penyimpanan karbon atau proyek mitigasi perubahan iklim.

Dalam konteks Indonesia, isu kolonialisme limbah karbon menjadi semakin relevan dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon. Perpres ini memberikan izin kepada pihak asing untuk mengimpor karbon dioksida (CO₂) dari luar negeri untuk disimpan di wilayah Indonesia. Keputusan ini memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis lingkungan. Di satu sisi, kebijakan ini dipandang sebagai langkah strategis untuk mendukung transisi energi global dan membuka peluang ekonomi baru bagi Indonesia. Di sisi lain, banyak yang khawatir bahwa kebijakan ini justru akan menjadikan Indonesia sebagai tempat pembuangan limbah karbon global, yang pada akhirnya dapat merugikan lingkungan dan masyarakat lokal.

Apa Itu Kolonialisme Limbah Karbon?

Kolonialisme limbah karbon adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana negara-negara maju, yang bertanggung jawab atas sebagian besar emisi karbon historis, mencoba memindahkan beban tanggung jawab mereka kepada negara-negara berkembang. Ini dilakukan melalui berbagai cara, seperti investasi dalam proyek penyerapan karbon di negara berkembang, penggunaan mekanisme pasar karbon, atau bahkan menyimpan limbah karbon langsung di negara tersebut.

Negara-negara maju sering kali menggunakan argumen bahwa mereka telah mencapai tingkat perkembangan teknologi yang memungkinkan mereka mengurangi emisi domestik secara signifikan. Namun, alih-alih sepenuhnya menghentikan aktivitas yang menghasilkan emisi, mereka mencari cara untuk “memindahkan” masalah tersebut ke negara lain. Dengan kata lain, negara-negara maju tetap dapat mempertahankan gaya hidup konsumtif mereka tanpa harus benar-benar mengurangi jejak karbon mereka secara keseluruhan.

Perpres No. 14/2024 dan Implikasinya

Penerbitan Perpres No. 14/2024 menandai langkah besar dalam kebijakan iklim Indonesia. Melalui regulasi ini, pemerintah Indonesia membuka pintu bagi impor CO₂ dari luar negeri untuk disimpan di fasilitas bawah tanah (carbon capture and storage/CCS). Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mendukung upaya global dalam mengurangi emisi karbon, sekaligus memanfaatkan potensi ekonomi dari teknologi CCS. Pemerintah juga berdalih bahwa kebijakan ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement untuk mencapai net-zero emission pada tahun 2060.

Namun, kebijakan ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak. Salah satu kekhawatiran utama adalah risiko kolonialisme limbah karbon. Dengan mengizinkan impor CO₂, Indonesia berpotensi menjadi “tempat pembuangan” bagi emisi karbon negara-negara maju. Hal ini tidak hanya menunjukkan ketidakadilan global dalam distribusi tanggung jawab terhadap perubahan iklim, tetapi juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat lokal.

Risiko Lingkungan dan Sosial

Penyimpanan CO₂ di bawah tanah bukanlah solusi tanpa risiko. Teknologi CCS masih relatif baru dan belum sepenuhnya teruji dalam skala besar. Ada kemungkinan kebocoran CO₂ yang dapat mencemari air tanah, merusak ekosistem lokal, atau bahkan membahayakan kesehatan manusia. Selain itu, proses penyimpanan ini memerlukan lahan yang luas, yang berpotensi menggusur masyarakat lokal atau mengganggu mata pencaharian mereka, terutama jika lokasi penyimpanan berada di daerah yang kaya akan sumber daya alam.

Di sisi lain, ada juga kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan mengalihkan fokus dari upaya mitigasi emisi domestik. Alih-alih mendorong industri dalam negeri untuk mengurangi emisi mereka, Indonesia justru membuka diri untuk menanggung beban emisi negara lain. Hal ini dapat menciptakan ilusi bahwa masalah perubahan iklim sudah teratasi, padahal sebenarnya hanya dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.

Perspektif Ekonomi dan Keadilan Iklim

Dari sudut pandang ekonomi, kebijakan ini memang menjanjikan pendapatan tambahan bagi Indonesia melalui pajak impor CO₂ atau royalti dari penggunaan teknologi CCS. Namun, pertanyaan yang muncul adalah: apakah manfaat ekonomi ini sebanding dengan risiko yang ditimbulkan? Apalagi jika kita mempertimbangkan bahwa negara-negara maju—yang bertanggung jawab atas sebagian besar emisi karbon global—adalah pihak yang paling diuntungkan dari kebijakan ini.

Keadilan iklim menjadi isu sentral dalam diskusi ini. Negara-negara berkembang seperti Indonesia seharusnya tidak dibebani dengan tanggung jawab untuk menangani emisi yang dihasilkan oleh negara-negara maju. Sebaliknya, negara-negara maju harus mengambil langkah nyata untuk mengurangi emisi mereka sendiri, serta memberikan dukungan finansial dan teknologi kepada negara-negara berkembang untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.

Solusi Alternatif dan Jalan ke Depan

Untuk menghindari jebakan kolonialisme limbah karbon, Indonesia perlu memperkuat regulasi dan kebijakan terkait impor CO₂. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa teknologi CCS yang digunakan benar-benar aman dan telah teruji. Kedua, setiap proyek penyimpanan karbon harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal dan memastikan bahwa hak-hak mereka dilindungi. Ketiga, Indonesia harus menegaskan posisinya dalam forum internasional untuk menuntut keadilan iklim, termasuk meminta negara-negara maju untuk mengambil tanggung jawab lebih besar dalam mengurangi emisi global.

Selain itu, Indonesia juga perlu fokus pada pengembangan energi terbarukan dan dekarbonisasi industri dalam negeri. Alih-alih bergantung pada impor CO₂, Indonesia dapat memanfaatkan potensinya sebagai negara tropis yang kaya akan sumber daya alam untuk mengembangkan solusi mitigasi perubahan iklim yang lebih berkelanjutan, seperti restorasi hutan dan pengelolaan lahan gambut.

Kesimpulan

Kolonialisme limbah karbon adalah ancaman nyata bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Perpres No. 14/2024, meskipun dimaksudkan untuk mendukung transisi energi global, berpotensi menjadikan Indonesia sebagai tempat pembuangan emisi karbon negara-negara maju. Untuk menghindari risiko ini, Indonesia harus memperkuat regulasi, melibatkan masyarakat lokal, dan menuntut keadilan iklim di tingkat global. Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat memastikan bahwa upaya mitigasi perubahan iklim tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.

Dengan demikian, penting bagi semua pemangku kepentingan untuk terlibat dalam dialog kritis tentang masa depan kebijakan iklim Indonesia, sehingga kita tidak hanya menjadi korban kolonialisme modern, tetapi juga menjadi pelopor dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.